GELEMBUNG KEPERCAYAAN TERHADAP RATU ADIL

Oleh:
Arrial Thoriq Setyo Rifano


Cover buku Ratu Adil karya Sartono Kartodirdjo

Pada awalnya adalah penindasan yang dialami oleh bangsa Indonesia di bawah kolonialisme Belanda. Surplus modal yang tidak dapat secara menguntungkan ditanam di Belanda, ditanam dalam perusahaan-perusahaan pertanian, pertambangan, dan pengangkutan, baik di Jawa yang tenaga kerjanya sebagai faktor produksi sangat murah harganya, maupun di luar Jawa yang tanahnya masih melimpah. Alat-alat kekuasaan kolonial digunakan untuk menjamin modal yang telah ditanam. (Kartodirdjo, 1999, hlm. 33) Kondisi tersebut merusak moral bangsa Indonesia. Bersamaan dengan industri-industri tersebut, dibuatlah aturan-aturan eksploitatif, seperti aturan menanam tebu sekali dalam tiga tahun di atas suatu tempat yang memberikan keuntungan kepada industri gula, aturan-aturan premi yang merusak hubungan antara pemimpin dan rakyatnya, mengecilnya rata-rata tanah milik petani, dan banyaknya petani yang harus kehilangan tanah sehingga menjadi buruh. (Sukarno, 2005a, hlm. 30) Penindasan yang terjadi membuat wong cilik di Indonesia dieksploitasi dan menderita di tanahnya sendiri; penindasan yang membuat seseorang terpaksa hidup dengan sebenggol sehari (Sukarno, 2005b, hlm. 176) alias kurang dari standar kehidupan yang dapat disebut layak pada waktu itu.

Penindasan tersebut, membuat sebagian rakyat Indonesia masuk ke dalam gelembung kepercayaan (bubbles of trust) terhadap sosok Ratu Adil. Hammi et al. (2018, p. 132) mengartikan gelembung kepercayaan sebagai sebuah zona dimana semua anggotanya dapat saling mempercayai satu sama lain. Rasa saling percaya inilah yang membuat kepercayaan terhadap sosok Ratu Adil menjadi sebuah gerakan dalam sejarah Indonesia. Menurut Wibowo (2014, hlm. 1), sosok Ratu Adil merepresentasikan gerakan millenaris, dimana ia dianggap menjadi Juru Selamat (gerakan mesianisme), pemenuhan sebuah ramalan kenabian (profetisme) yang bersifat lokal (nativisme, kepribumian) serta hendak menghidupkan kembali spirit yang hilang (revivalisme dan revitalisme). Gerakan ini banyak ditemukan di Jawa pada abad 19-20.

Sindhunata dalam disertasinya yang berjudul Hoffen auf den Ratu Adil, Das eschatologische Motiv des ‘Gerechten Königs’ im Bauernprotest auf Java während des 19. Ind zu Beginn des 20. Jahrhunderts yang kemudian dibukukan dengan judul Ratu Adil: Ramalan Jayabaya & Sejarah Perlawanan Wong Cilik, mengidentifikasi tiga ciri khas Gerakan Ratu Adil. Pertama, ciri khas Gerakan Ratu Adil adalah profetik. Gerakan ini memberangkatkan diri dari apa yang disebut Ramalan Jayabaya, yang dalam tradisi kepercayaan rakyat Jawa diterima sebagai ujaran-ujaran profetik. Secara historis, Jayabaya adalah Raja Kediri yang hidup sekitar tahun 1150 M. Namun, bagi orang Jawa, sosok ini lebih dari sekadar figur historis; Jayabaya adalah figur mistis. Ia dianggap bagaikan nabi yang mengujarkan nubuat dan ramalan tentang masa depan orang Jawa, yang kemudian terkenal dengan nama Ramalan Jayabaya. (Sindhunata, 2024, hlm. 7)

Ciri khas berikutnya adalah mesianis. Para pengikutnya berharap datangnya Ratu Adil, yang umumnya dipandang sebagai Mesias Jawa. Ia diharapkan dapat membebaskan rakyat Jawa dari penderitaan dan penindasan. Karena itu, dengan penuh penantian, orang Jawa mengharap kedatangannya, lebih-lebih pada saat mereka berada dalam penderitaan dan penindasan. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa gerakan ini banyak ditemukan di Jawa pada abad 19-20. Pada saat itu rakyat Jawa sedang diisap dan ditindas habis-habisan oleh penguasa kolonial Belanda. Terutama bagi mereka yang hidup di pedesaan Jawa, penderitaan hampir tak tertanggungkan lagi. Karena itu, para petani Jawa percaya bahwa kedatangan Ratu Adil sudah di ambang mata. Dialah yang akan menjungkirkan tatanan yang ada dan membebaskan rakyat Jawa dari penindasan dan kezaliman kolonial. Ia akan menegakkan kekuasaannya, dimana akan bertakhta keadilan dan kedamaian. Berdasarkan harapan ini, pemberontakan melawan pemerintah kolonial pecah di Jawa berulang kali. (Sindhunata, 2024, hlm. 7)

Terakhir, ciri kas Gerakan Ratu Adil adalah milenaris, artinya gerakan ini percaya suatu abad baru akan merekah, semacam zaman keemasan dimana surga di dunia akan ditegakkan. Manusia akan dibebaskan dari segala belenggu yang membatasi eksistensinya dan dari penderitaan, kemiskinan, kesalahan, kezaliman, serta dosa. Manusia pun hidup menikmati kebahagiaannya yang sempurna. Di hadapan masa depan demikian, dunia yang dialami dianggap terkutuk dalam keadaan dosa, bejat, bobrok, dan menuju kebinasaan. Karena itu, gerakan ini menolak secara radikal tatanan dan situasi yang sedang ada. Mereka percaya bahwa suatu kekuatan adikodrati akan membinasakan dunia yang berdosa ini. Entah karena dihancurkan melalui bencana alam, entah karena diganti dengan fajar milenium baru yang datang merekah dengan sekonyong-konyong dan ajaib. Karena campur tangan kekuatan adikodrati tersebut, perubahan yang akan terjadi diterima dan diartikan bukan sebagai transformasi yang pelan dan bertahap, tetapi loncatan yang revolusioner, seketika, dan mendadak menuju ke arah kesempurnaannya. (Sindhunata, 2024, hlm. 8)

Gerakan Ratu Adil bukanlah satu-satunya gerakan protes petani di Jawa. Terdapat corak lain dari protes petani, misalnya gerakan-gerakan melawan pengisapan yang dilakukan para tuan tanah atau gerakan-gerakan sektarian agama. Dibanding dengan Gerakan Ratu Adil, kedua gerakan tersebut tidak terlalu populer di tanah Jawa. Gerakan Ratu Adil sendiri muncul dengan amat sering di tanah Jawa. Hampir setiap tahun pada abad 19 di pedesaan-pedesaan Jawa meletus protes-protes petani yang kebanyakan terjadi dalam garis Gerakan Ratu Adil. (Sindhunata, 2024, hlm. 9)

Dalam Gerakan Ratu Adil, peranan pimpinan sangat menonjol. Para petani bisa bergerak dalam pertempuran frontal di sekitar figur seorang kyai, haji, guru tarekat atau Ratu Adil. Pada umumnya, tokoh-tokoh pemimpin tersebut termasuk golongan elite pedesaan dan kelas sosial yang berada. Otoritasnya bersumber pada kewibawaan pribadi yang pada hakikatnya berdasarkan karisma yang dimiliki. Di mata rakyatnya, pemimpin-pemimpin tersebut adalah keramat (saleh) atau sakti karena telah menerima pulung. Berdasarkan otoritas tersebut, mereka dapat mengandalkan loyalitas pengikutnya sehingga dapat dimobilisasi untuk tujuan tertentu. Para pengikutnya mempunyai komitmen total terhadap sang pemimpin sehingga solidaritas kelompok tidak dapat diragukan lagi. Dalam hubungan patron-client antara pemimpin dan pengikutnya, kesatuan atau unit-unit gerakan dapat dibentuk dengan solidaritas tersebut sebagai pemersatunya. (Kartodirdjo dalam Wibowo (2014, hlm. 13–14))

Pada tahun 1930, Sukarno, dalam pledoinya yang berjudul “Indonesia Menggugat” di hadapan hakim Landraad Bandung, menyampaikan alasan mengapa rakyat Indonesia di bawah kekuasaan kolonial Belanda senantiasa percaya dan menunggu datangnya Ratu Adil. Menurutnya:

… ialah oleh karena hati rakjat jang menangis itu tak berhenti-hentinja, tak habis-habis menunggu-nunggu atau mengharap-harapkan datangnja pertolongan, sebagaimana orang jang berada di dalam kegelapan tak berhenti-henti pula saban djam, saban menit, saban sekon, menunggu-nunggu dan mengharap-harap: “kapan, kapankah matahari terbit?” (Sukarno, 2014, hlm. 153)

Meski begitu, Sukarno menolak jika Ratu Adil diwujudkan sebagai figur tertentu. Dalam pidatonya yang berjudul “Lahirnja Pantjasila” pada tanggal 1 Juni 1945, Sukarno menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Ratu Adil adalah:

… sociale rechtvaardigheid. Rakjat ingin sedjahtera. Rakjat jang tadinja merasa dirinja kurang makan kurang pakaian, mentjiptakan dunia baru jang didalamnja ada keadilan, dibawah pimpinan Ratu-Adil. (Sukarno, 1964, hlm. 28)

Dengan demikian, bagi Sukarno, Ratu Adil bukanlah sosok figur semata, tetapi sebuah keadaan dimana kesejahteraan sosial (sociale rechtvaardigheid) terwujud bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sukarno memahami, bahwa dalam tatanan feodalisme yang belum mengenal secara tuntas terminologi politik, ajakan untuk bergerak dan berjuang memperjuangkan kemerdekaan rakyat dalam suatu aksi kolektif akan jauh lebih efektif apabila menggunakan istilah yang akrab dalam mentalitas rakyat tradisional Jawa, yaitu Ratu Adil, meskipun dalam praksisnya istilah tersebut diisi oleh narasi yang revolusioner yang memiliki makna berkebalikan dengan alam pikir feodalisme masyarakat kala itu. Sukarno menggunakan mitologi ini dengan mentransendensikan maknanya yang pasif, melepas makna sebagai sosok ataupun figur penyelamat, dan mengurainya dalam pemaknaan sebagai aspirasi demos (rakyat) serta perjuangan untuk membangun kepercayaan diri rakyat untuk mampu memperjuangkan nasibnya sendiri. (Kusman, 2023, hlm. 281–283)

Kartodirdjo dalam Wibowo (2014, hlm. 30) melihat bahwa mitos Ratu Adil harus dilampaui agar orang tidak berorientasi ke masa lampau dan hanya mengharapkan solusi magis. Ketika masa lalu dipandang secara nostalgis, maka masa depan juga dihadapi dengan loncatan-loncatan yang tidak logis. Mentalitas menunggu Ratu Adil menciptakan budaya menunggu atasan dan tidak pernah membuat orang bertanggung jawab secara pribadi. Koentjaraningrat (1981, hlm. 382–386) mengajukan pendapat serupa. Orang Indonesia cenderung bersikap pasif, fatalis, dan cenderung menunggu solusi-solusi magis. Orang sekadar mengidolakan pre-established harmony, sebuah keselarasan yang dianggap ideal. Sikap ini tidak membantu orang untuk berani mendominasi alam. Ideologi menyelaraskan diri dengan alam membuat orang tidak pernah bisa menyangi teknologi Barat, sehingga akan sekadar menjadi konsumen pasif, dan dari situ muncul pula sikap negatif pada hidup.

Tantangan Kartodirdjo dijawab oleh Sukarno. Sukarno melampaui mitos Ratu Adil dengan menempatkannya sebagai suatu energi dan fantasi konkret bagi rakyat agar mereka percaya terhadap kekuatannya sendiri. Dengan membangun kesadaran bahwa kekuatan utama adalah pada diri rakyat itu sendiri, konsepsi Ratu Adil dalam bentuk yang maju dan progresif menghantarkan pergerakan politik untuk membangun kepercayaan terhadap kekuatan diri sendiri yang berhimpun bersama untuk membangun dan mengonsolidasikan kekuatan (machtsvorming), maka Ratu Adil dimaknai sebagai suatu kesadaran kolektif atau gelembung kepercayaan terkait kekuatan dalam dirinya yang apabila dihimpun dalam kolektivitas akan membangun kuasa yang tidak saja membawa kepada kemerdekaan politik, namun juga untuk melampaui stelsel kapitalisme-imperialisme yang oleh Sukarno dipercaya sebagai syarat mutlak bagi tatanan yang muncul saat kehadiran Ratu Adil, yaitu tercapainya kesejahteraan dan keadilan sosial. (Kusman, 2023, hlm. 287–288)

Pertanyaannya kemudian, dalam realitas dunia yang masih diwarnai berbagai bentuk ketidakadilan akibat praktek penjajahan gaya baru, namun tetap pada esensi yang sama, yaitu perang hegemoni, perebutan sumber daya alam, dan perebutan pasar yang diikuti daya rusak lingkungan yang semakin besar, (Soekarnoputri, 2021, hlm. 3) gelembung kepercayaan terhadap Ratu Adil manakah yang akan kita ikuti? Apakah kita akan bergabung dalam gelembung kepercayaan yang di dalamnya orang-orang akan bersikap pasif dan menunggu pengharapan akan lahirnya wahyu atau sosok yang dapat menjawab segala penindasan yang saat ini masih terjadi? Ataukah kita akan bergabung dalam gelembung kepercayaan yang memuliakan kehendak demos dalam pengelolaan negara yang dalam era kontemporer tengah tergerus oleh perkembangan warisan neokolonialisme dan neoimperialisme (nekolim) berupa dominasi tatanan rezim kapitalisme neoliberal dimana substansi pengelolaan negara lebih mengedepankan logika privat daripada logika publik?

 

Madiun, 3 Juli 2025


Daftar Bacaan

Hammi, M. T., Hammi, B., Bellot, P., & Serhrouchni, A. (2018). Bubbles of Trust: A decentralized blockchain-based authentication system for IoT. Computers & Security, 78, 126–142. https://doi.org/10.1016/j.cose.2018.06.004

Kartodirdjo, S. (1999). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme Jilid 2. Gramedia Pustaka Utama.

Koentjaraningrat. (1981). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Penerbit Djambatan.

Kusman, A. P. (2023). Merahnya Ajaran Bung Karno: Narasi Pembebasan Ala Indonesia. GDN Press.

Sindhunata. (2024). Ratu Adil: Ramalan Jayabaya & Sejarah Perlawanan Wong Cilik. Gramedia Pustaka Utama.

Soekarnoputri, M. (2021). Orasi Ilmiah Pengukuhan Gelar Profesor Kehormatan (Guru Besar Tidak Tetap) Ilmu Pertahanan Bidang Kepemimpinan Stratejik Universitas Pertahanan RI “Kepemimpinan Stratejik Pada Masa Krisis.” Universitas Pertahanan RI.

Sukarno. (1964). Tjamkan Pantjasila! Pantja Sila Dasar Falsafah Negara. Departemen Penerangan R.I.

Sukarno. (2005a). Di Manakah Tinjumu? Di Manakah Kekuatan yang Menghancurkan Segala Hal yang Melawan? Dalam Dibawah Bendera Revolusi Jilid Pertama (hlm. 23–33). Yayasan Bung Karno.

Sukarno. (2005b). Orang Indonesia Cukup Nafkahnya Sebenggol Sehari? Dalam Dibawah Bendera Revolusi Jilid Pertama (hlm. 175–177). Yayasan Bung Karno.

Sukarno. (2014). Indonesia Menggugat. Dalam Panca Azimat Revolusi: Tulisan, Risalah, Pembelaan, & Pidato Sukarno 1926-1966 Jilid I (hlm. 41–352). Kepustakaan Populer Gramedia.

Wibowo, A. S. (2014). Ratu Adil Jawa dan Ratu Filsuf Platon: Timbangan dan Aktualitasnya untuk Saat ini. Dalam Ratu Adil: Kuasa & Pemberontakan di Nusantara (hlm. 1–35).

Komentar

Postingan Populer