TENTANG SOSIALISME INDONESIA DALAM UUPA
Arrial Thoriq Setyo Rifano

Pertama-tama, izinkahlah saya
mengucapkan selamat dan apresiasi yang luar biasa atas berlangsungnya dengan
lancar ujian komprehensif Presiden Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya
saat ini, Bung Azka Rasyad Alfatdi, dengan skripsi berjudul “Pemaknaan
Sosialisme Indonesia dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria terhadap Penegakan Hak-Hak Rakyat atas
Pertambangan Mineral dan Batubara menuju Reforma Agraria”. Penelitian tersebut
patut untuk diapresiasi mengingat sejak rezim Orde Baru berkuasa, frasa
“Sosialisme Indonesia” dan segala agendanya ditolak oleh rezim yang berkuasa.
Kerangka utama kebijakan pemerintah berubah secara drastis dari “revolusi” pada
masa rezim Demokrasi Terpimpin menjadi “akselerasi dan modernisasi” pada masa
rezim Orde Baru. (Rachman, 2017, hlm. 95)
Dengan hadirnya penelitian tersebut, muncul secercah harapan untuk menunjukkan
kepada generasi pembelajar hukum selanjutnya, bahwa dalam perkembangannya, sistem
hukum Indonesia telah dan pernah mengakomodir politik hukum yang “sosialis”.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dibentuk sebagai
undang-undang payung yang mencerminkan semangat kerakyatan dengan berpijak pada
nilai-nilai Pancasila, khususnya dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Corak sosialis yang kuat dalam UUPA menunjukkan keberpihakan
negara kepada rakyat kecil, terutama petani, nelayan, dan masyarakat adat yang
selama masa penjajahan mengalami penindasan dalam penguasaan tanah. UUPA hadir
sebagai instrumen hukum yang menegaskan bahwa tanah harus dikelola untuk
kesejahteraan rakyat, bukan hanya untuk kepentingan segelintir elite atau
pemilik modal. Prinsip ini sejalan dengan cita-cita keadilan sosial yang
menjadi dasar konstitusional dalam sistem agraria nasional. (Alfatdi, 2025)
UUPA lahir sebagai bentuk perlawanan
terhadap kolonialisme dan imperialisme yang selama ini menciptakan dualisme
hukum agraria di Indonesia. Dengan diundangkannya UUPA, sistem hukum agraria
warisan kolonial yang sarat dengan ketidakadilan dihapuskan dan digantikan
dengan sistem yang lebih berkeadilan berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Negara diberikan peran sebagai aktor utama dalam mengatur, menguasai, dan mendistribusikan
tanah guna memastikan kemakmuran rakyat. Melalui UUPA, pemerintah diberi
kewenangan untuk mengontrol kepemilikan dan penggunaan tanah agar tidak terjadi
monopoli oleh segelintir pihak, serta memastikan bahwa tanah benar-benar
digunakan untuk kepentingan bangsa dan negara. Namun, cita-cita tersebut kandas
oleh undang-undang sektoral, terutama terkait pertambangan mineral dan
batu bara, yang justru dibentuk untuk melanggengkan kekuasaan dan usaha para
elite dan pemodal. (Alfatdi, 2025)
Dalam UUPA, frasa “sosialisme
Indonesia” tercantum dalam Pasal 5, yang berbunyi:
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”
Pada masa pergerakan kemerdekaan,
para intelektual progresif tidak menaruh perhatian pada isu kemiskinan pedesaan
dan kondisi agraria. Sukarno dalam berbagai tulisannya, terutama tentang
marhaen dan marhaenisme, menjadi salah satu perkecualian. (Luthfi, 2011, hlm. 98)
Setidaknya, dalam tiga tulisan yang terhimpun dalam buku Dibawah Bendera
Revolusi Jilid I, yaitu Marhaen dan Marhaeni (Sukarno, 2005b),
Marhaen dan Proletar (Sukarno, 2005a),
dan Mencapai Indonesia Merdeka (Sukarno, 2005d),
Sukarno menjelaskan siapa marhaen itu. Marhaen adalah suatu nama yang
diambilnya dari seorang petani bernama Marhaen yang dijumpainya di Cegelereng
dekat Bandung. Petani itu mengolah lahan sempit yang dimilikinya sendiri,
melarat tetapi bukan proletar sebagaimana dalam istilah Marxis. (Luthfi, 2011, hlm. 99)
Pertemuannya dengan Marhaen
mengonfirmasi pemahamannya tentang struktur kelas pedesaan yang berasal dari
Karl Kautsky. Berbeda dengan pendirian Lenin yang menyatakan bahwa proses
kapitalisme di pedesaan akan menghilangkan kelas petani di pedesaan (de-peasantization), Kautsky berpendapat
bahwa yang terjadi adalah peminggiran masyarakat tani (peasantry) dan bukannya lenyap sama sekali. Marhaen yang dijumpai
Sukarno adalah petani yang bukannya tanpa alat produksi sama sekali sebagaimana
proletar, namun masih memiliki dan mengusahakan tanah yang sempit. Jika Kautsky
dengan pemahaman tersebut berujung pada saran untuk menetralisir kaum tani
sebab tidak progresifnya mereka akibat proses kapitalisasi di pedesaan, maka
begitu pun juga pendapat Sukarno. (Luthfi,
2011, hlm. 99–100)
Menurut Sukarno, secara umum yang
disebut marhaen adalah bukan hanya petani, namun juga kaum buruh, dan kaum
melarat Indonesia yang lain, misalnya kaum dagang kecil, kaum ngarit, kaum tukang kaleng, kaum grobag,
kaum nelayan, dan kaum lain-lain. Akan tetapi, kaum proletarlah yang mengambil
bagian yang besar sekali dalam perjuangan kaum marhaen. Hal ini disebabkan
karena:
“… kaum proletarlah yang kini lebih hidup di dalam ideologi modern, kaum proletarlah yang sebagai klasse lebih langsung terkenal oleh kapitalisme, kaum proletarlah yang lebih “mengerti” akan segala-galanya kemoderenan sosionasionalisme dan sosiodemokrasi.” (Sukarno, 2005c, hlm. 254)
Cara pandang Sukarno terhadap petani
dengan proletar memang sangat berlainan. Meskipun menjadi perkecualian dari
para tokoh pergerakan yang menaruh perhatian pada isu dan kondisi agraria,
namun pemahamannya terhadap struktur sosial pedesaan tidaklah menggambarkan
adanya diferensiasi internal. Ini sangat berbeda dengan pandangannya tentang kaum
proletar. Dalam tulisannya yang berjudul Kapitalisme Bangsa Sendiri, (Sukarno,
2005a, hlm. 179–180) Sukarno
menyadari adanya diferensiasi internal itu: tuan-tuan bangsa sendiri yang ikut
“menyengsarakan buruh”. Cara produksi kapitalisme memisahkan kaum buruh dari
alat produksinya, yang mengakibatkan meerwarde
(nilai lebih) jatuh ke tangan majikan, juga mengakibatkan kaum buruh industri
batik, rokok kretek, dan lainnya di negeri Mataram, Laweyan, Kudus, Blitar,
hanya menerima 10 hingga 20 sen sehari.
Namun demikian, cara pandang yang
mengabaikan diferensiasi sosial masyarakat tani itu tidak lebih dari strategi
politik Sukarno yang lebih mengedepankan kesatuan identitas masyarakat
Indonesia dan mengalihkannya pada bentuk perjuangan melawan penjajah. Jika
diferensiasi tersebut ditonjolkan, maka dapat membahayakan proses integrasi dan
bangunan nasionalisme yang selalu dipropagandakannya. Potensi adanya
pertentangan kelas dalam masyarakat pertanian pedesaan dialihkan menjadi
pertentangan antara si-penjajah (colonizer)
dengan si-terjajah (colonized).
Ideologi memang sering kali tidak sepadan dengan realitasnya dan Sukarno
berstrategi memilih-milih mana yang mungkin untuk dimunculkan sebagai realitas
serta mana yang diabaikannya. (Luthfi, 2011, hlm. 101)
Demikian juga dengan pemikiran Sukarno tentang gerakan perempuan. Kaum marhaen
perempuan (marhaeni) tidak perlu dipisah-pisahkan dengan kaum marhaen laki-laki,
sebab akan memperlemah gerakan. Ia menyerukan agar satu massa aksi jangan
dipisah-pisahkan. (Sukarno, 2005b, hlm. 245)
Melalui tema persatuan yang
diperkenalkannya, Sukarno telah menumbuhkan perhatian sepenuhnya untuk menekankan
kepentingan bersama sebagai suatu hal yang pokok di antara berbagai pendirian. (Kasenda, 2014, hlm. 30) Berangkat
dari tema tersebut, Sukarno menawarkan pemikiran sosialisme yang menurutnya
lebih relevan untuk perjuangan nasional di Indonesia. Ketika menjabat sebagai
presiden dan mendekritkan berlakunya Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959,
istilah sosialisme Indonesia menjadi populer sebagai pemikiran politik Sukarno.
(Ilmar, 2016, hlm. 92) Pada
masa itu, sosialisme Indonesia dianggap sebagai hari depan revolusi Indonesia,
yang oleh Sukarno setidaknya setiap peringatan proklamasi 17 Agustus, selalu
diberikan konsepsi, petunjuk, dan arahan-arahan untuk mewujudkannya dalam
Manipol-USDEK (Manifesto Politik – UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi
Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia) (Sukarno, 1959),
Resopim (Revolusi, Sosialisme, dan Pimpinan Nasonal) (Sukarno, 1961b),
Trisaksi-Tavip (Sukarno, 1964),
dan lain sebagainya. Bagi Sukarno, sosialisme tidak hanya menjadi sekadar
pemikiran politik, namun harus menjadi cita-cita yang harus dicapai, yaitu
mewujudkan tatanan masyarakat yang adil dan makmur, sebagaimana dalam tulisan
Mencapai Indonesia Merdeka dinyatakan bahwa “… maksud pergerakan kita haruslah:
suatu masyarakat yang adil dan sempurna, yang tidak ada tindasan dan hisapan, yang tidak ada kapitalisme dan imperalisme.”
(Sukarno, 2005d, hlm. 285)
Dalam buku Sarinah, Sukarno
menyatakan:
“Ya, benar saya memakai perkataan ‘sosialisme’, - tetapi pakailah perkataan lain kalau Tuan mau, asal isi maknanya sama, yakni satu masyarakat yang berkesejahteraan sosial dan berkeadilan sosial. Yang di dalamnya tiada eksploatasi manusia oleh manusia, tiada eksploatasi pula manusia-oleh-negara, tiada kapitalisme, tiada kemiskinan, tiada perbudakan, … Saya memakai perkataan sosialisme itu oleh karena perkataan sosialisme telah lazim oleh karena saya tidak dapat mencari perkataan lain yang lebih tepat, dan juga oleh karena dengan terminologi (perkataan) sosialisme itu pembaca dapat memperdalam pengetahuannya tentang sosialisme… Saya nasionalis, dan Insya Allah di dalam seluruh Revolusi Nasional ini politis akan tetap mengutamakan nasionalisme, tetapi saya cinta pula kepada sosialisme oleh karena pikiran saya berkata, bahwa akhirnya hanya dalam masyarakat sosialismelah manusia dan dunia dapat selamat.” (Sukarno, 2014, hlm. 330–331)
Menurut Sukarno, pemikiran marxisme
tidak dapat secara bulat-bulat diterapkan di Indonesia karena perbedaan situasi
dan kondisi antara Eropa – tempat muncul dan berkembangnya pemikiran tersebut –
dengan yang ada di Indonesia. Itu sebabnya Sukarno menamakannya sosialisme
Indonesia. Menurut Sukarno, sosialisme Indonesia atau sosialisme ala Indonesia
adalah sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang terdapat di
Indonesia, dengan alam Indonesia, dengan rakyat Indonesia, dengan adat
istiadat, dengan psikologi dan kebudayaan rakyat Indonesia. Sukarno sendiri
mengartikan sosialisme sebagai:
“Sosialisme berarti adanya pabrik yang kolektif. Adanya Industrialisme yang kolektif. Adanya produksi yang kolektif.
Adanya distribusi yang kolektif. Adanya pendidikan yang kolektif. Sosialisme berarti adanya banyak automobil, adanya radio, adanya telepon, adanya telegrap, adanya kereta-api, adanya kapal-udara, adanya aspal, adanya waterleiding, adanya listrik, adanya gambar hidup, adanya buku-buku, adanya perpustakaan, adanya ilmu tabib, adanya aspirin, adanya sekolah rendah, adanya sekolah tinggi, adanya traktor, adanya irigasi, d.l.l., - semuanya secara mempunyai jumlah minimum dan semuanya, (saya pinjam perkataan Bakounin, walaupun ia orang anarkhist) “di dalam suasana kolektiveit”. Alat-alat teknik, dan terutama sekali semangat gotong royong yang telah masak, itulah soko gurunya pergaulan hidup sosialistis. Sosialisme adalah kecukupan berbagai kebutuhan dengan pertolongan modernisme yang telah dikolektivisasikan. Sosialisme adalah “keenakan-hidup yang pantas”. Kecukupan berbagai kebutuhan itu, adanya “keenakan-hidup yang pantas” itu, hanyalah mungkin dengan adanya dan dipergunakannya secara sosial alat-alat teknik. Satu masyarakat yang belum dapat memenuhi syarat-syarat teknik itu sampai kepada sedikitnya satu tingkat minimum yang tertentu, tak mungkin mampu menjelmakan sosialisme!” (Sukarno, 2014, hlm. 268–269)
Menurut Sukarno, sosialisme Indonesia
didasarkan pada amanat penderitaan rakyat Indonesia yang diakibatkan oleh
kezaliman, imperialisme, kolonialisme, dan imperialisme dalam bentuk
penghisapan, penjajahan, perbudakan, penindasan, dan pengekangan yang menimbulkan
kebodohan, kemiskinan, kesengsaraan, dan sebagainya. Oleh karena itu, prinsip
sosialisme Indonesia menurut Sukarno secara negatif adalah tidak adanya
kemiskinan, eksploitasi, dan kekayaan individu yang berlebihan. Dan secara
positif adalah adanya tatanan masyarakat yang adil dan makmur yang berjiwa
kekeluargaan dan gotong royong. Inilah yang menjadi ciri pokok dari sosialisme
Indonesia, yaitu perpaduan antara unsur-unsur sosialisme, yaitu keadilan dan
kesejahteraan, dan unsur kepribadian Indonesia, yaitu kekeluargaan dan gotong
royong. (Ilmar, 2016, hlm. 95)
Salah satu usaha untuk mewujudkan
sosialisme Indonesia dilakukan dengan pembentukan hukum agraria nasional yang
baru melalui rancangan undang-undangan pokok agraria. Dalam pidato Djarek,
Sukarno menyatakan:
“Semangat “foreseeing-ahead”, (semangat ,,telah melihat lebih dahulu”) bertjermin dalam keputusan D.P.A. dan Kabinet mengenai Landreform. D.P.A. telah mengusulkan kepada Pemerintah tentang ,,Perombakan hak tanah dan penggunaan tanah”, ,,agar masjarakat adil dan makmur dapat terselenggara dan chususnja taraf hidup tani meninggi dan taraf hidup seluruh rakjat djelata meningkat”, - Pemerintah telah memutuskan ,,Rantjangan Undang-undang Pokok Agraria”, Rantjangan Undang-undang jang mana telah saja teruskan kepada D.P.R.G.R. agar lekas disidangkan.” (Sukarno, 1961a, hlm. 60)
Menurut Boedi Harsono, yang pada
waktu itu menjabat sebagai Kepala Direktorat Hukum Departemen Agraria dan aktif
membantu Menteri Agraria dalam mempersiapkan rancangan UUPA, (Sitorus
& Huda, 2012, hlm. 69–70)
pada waktu terbentuknya UUPA, lazim dipergunakan kata-kata seperti “revolusi”, “sosialisme
Indonesia”, dan “masyarakat sosialis Indonesia”. Sebagai suatu undang-undang
yang merupakan produk dari zamannya, di dalam UUPA terdapat juga kata-kata
tersebut. Dalam perkembangannya, frasa sosialisme Indonesia mengalami perubahan
mengenai pengertian dan isinya. Maka dalam memahami UUPA, apa yang disebut
sosialisme Indonesia dalam konsiderans dan berbagai pasalnya, harus diartikan
menurut pengertiannya pada tahun 1959 dan 1960, yaitu tahun disusunnya kembali
rancangan UUPA menjadi “Rancangan Sadjarwo” dan mulai berlakunya UUPA sendiri. Dalam
konsiderans Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960
terdapat penjelasan otentik mengenai pengertian sosialisme Indonesia.
Dinyatakan bahwa masyarakat sosialis Indonesia adalah sama dengan masyarakat-adil-dan-makmur-berdasarkan
Pancasila. Dengan demikian, pengertian sosialisme Indonesia pada waktu
terbentuknya UUPA merupakan sinonim dari pengertian
tata-masyarakat-adil-dan-makmur berdasarkan Pancasila. (Harsono,
2013, hlm. 165–166)
Penelitian Alfatdi (2025)
mengonfirmasi bahwa pemaknaan sosialisme Indonesia bercorak Pancasilais karena
akar ideologinya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Pancasila yang digali
oleh Sukarno. Sosialisme Indonesia yang diatur dalam Pasal 5 UUPA tidak lagi
dimaknai dan tidak berakar pada semangat anti penindasan rakyat yang
menempatkan kemanusiaan, keadilan, dan kemaslahatan sebagai fondasi yang diwujudkan
melalui semangat gotong-royong pada undang-undang sektoral terkait pertambangan
mineral dan batu bara. Pasca amandemen ke-4 UUD NRI 1945, terbuka peluang
kapitalisasi dan eksploitasi sumber daya alam yang kemudian dalam pengaturan
terkait pertambangan mineral dan batu bara yang menunjukkan pergeseran dari
semangat kerakyatan dalam UUPA menuju orientasi kapitalistik yang lebih
mengutamakan investasi dibandingkan konservasi dan kesejahteraan masyarakat.
Eksploitasi sumber daya alam semakin dominan, dengan regulasi yang memperkuat
sentralisasi serta mengurangi kontrol daerah dan hak masyarakat. Ketimpangan
ini bertentangan dengan cita hukum Pancasila tidak hanya sekadar pedoman
normatif melainkan, keseimbangan pada cita hukum, dengan karakter jiwa bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, pengaturan sumber daya alam harus berorientasi pada cita hukum
Pancasila agar tercipta pengelolaan sumber daya alam yang berpihak pada rakyat
dan berkelanjutan.
Pemaknaan alternatif sosialisme
Indonesia sebagai ius constituendum,
menolak dominasi kapitalisme ekstraktif serta mendorong pembentukan sistem
hukum pertambangan nasional yang berorientasi pada perlindungan hak-hak
masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat, transparansi kebijakan, serta
distribusi hasil sumber daya alam yang merata. Dengan demikian, sosialisme
Indonesia harus dimaknai dalam paradigma nilai-nilai progresif yang membimbing arah
pembangunan nasional menuju kesejahteraan yang berkeadilan sesuai cita hukum Pancasila.
Pertumbuhan ekonomi dan tata kelola pertambangan mineral dan batu bara harus
ditempatkan dalam kerangka keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan
rakyat yang berlandaskan pada prinsip ekonomi kerakyatan dan sosialisme Indonesia
sebagai norma fundamental. Sosialisme Indonesia, yang berpijak pada nilai-nilai
Pancasila dan Pasal 33 UUD NRI 1945 serta tertuang dalam UUPA, menuntut peran
aktif negara bukan sekadar sebagai pemegang kendali atas sumber daya alam,
tetapi sebagai pengelola partisipatif yang memastikan distribusi manfaat
tambang dilakukan secara adil, demokratis, dan inklusif. (Alfatdi, 2025)
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa frasa sosialisme Indonesia masih
relevan hingga saat ini dan dapat menjadi wacana alternatif bagi pendapat yang
menyatakan bahwa “Istilah “Sosialisme Indonesia” ini sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan jaman, oleh karena itu sebaiknya dihilangkan.” (Bakri, 2011, hlm. 70)
Madiun, 9 Juli 2025
Daftar
Bacaan
Alfatdi, A. R. (2025). Pemaknaan
Sosialisme Indonesia dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria terhadap Penegakan Hak-Hak Rakyat atas
Pertambangan Mineral dan Batubara menuju Reforma Agraria [Skripsi]. Universitas
Brawijaya.
Bakri, M. (2011). Hak
Menguasai Tanah oleh Negara (Paradigma Baru untuk Reforma Agraria). UB Press.
Fauzi, N. (1999). Petani
& Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. INSISTPress.
Harsono, B.
(2013). Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Penerbit Universitas Trisaksi.
Ilmar, A. (2016). Pemikiran
Politik Sukarno tentang Sosialisme Indonesia dan Praktiknya pada Masa Demokrasi
Terpimpin [Tesis]. Universitas Indonesia.
Kasenda, P.
(2014). Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926-1933. Komunitas Bambu.
Luthfi, A. N.
(2011). Melacak Sejarah Pemikiran Agraria: Sumbangan Pemikiran Mazhab Bogor.
STPN Press.
Rachman, N. F.
(2017). Land Reform & Gerakan Agraria Indonesia (A. Fawaid, Penerj.).
INSISTPress.
Sitorus, O., &
Huda, T. N. (2012). Potret Perjuangan Bapak Hukum Agraria Prof. Boedi Harsono.
STPN Press.
Sukarno. (1959). Manifesto
Politik Republik Indonesia 17 Agustus 1959. Departemen Penerangan R.I.
Sukarno. (1961a).
Djalannja Revolusi Kita (Djarek). Dalam Pedoman-pedoman Pelaksanaan Manifesto
Politik Republik Indonesia (hlm. 27–82). Departemen Penerangan R.I.
Sukarno. (1961b). RE-SO-PIM
(Revolusi—Sosialisme Indonesia—Pimpinan Nasional). Departemen Penerangan R.I.
Sukarno. (1964). Tahun
“Vivere Pericoloso.” P.N. Penerbit Pradnjaparamita.
Sukarno. (2005a).
Kapitalisme Bangsa Sendiri. Dalam Dibawah Bendera Revolusi Jilid Pertama (hlm.
179–184). Yayasan Bung Karno.
Sukarno. (2005b).
Marhaen dan Marhaeni. Dalam Dibawah Bendera Revolusi Jilid Pertama (hlm.
245–248). Yayasan Bung Karno.
Sukarno. (2005c).
Marhaen dan Proletar. Dalam Dibawah Bendera Revolusi Jilid Pertama (hlm.
253–256). Yayasan Bung Karno.
Sukarno. (2005d).
Mencapai Indonesia Merdeka. Dalam Dibawah Bendera Revolusi Jilid Pertama (hlm.
257–323). Yayasan Bung Karno.
Sukarno. (2014). Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia. Yayasan Bung Karno.
Komentar
Posting Komentar