LEDAKAN DI LANGIT NATUNA
Berakhirnya Perang Dunia II tidak
membuat kondisi dunia menjadi aman. Munculnya dua negara adidaya, yaitu Amerika
Serikat dan Uni Soviet sebagai pemenang perang, membawa dunia memasuki babak
baru dalam sejarah, yaitu Perang Dingin. Pada periode ini, konstelasi politik
dunia terbagi menjadi dua, yaitu Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan
Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet. Kedua blok tersebut berusaha menarik
negara-negara lain untuk menjadi anggota bloknya masing-masing. Pertarungan
yang pada awalnya didasari oleh perbedaan ideologi antara kapitalisme dan
komunisme kemudian berlanjut dalam persaingan di bidang persenjataan, teknologi
luar angkasa, dan pembentukan pakta-pakta pertahanan. Persaingan tersebut ikut
mempengaruhi keadaan negara-negara di benua Asia dan Afrika, di mana pada awal
tahun 1950-an beberapa negara Asia dan Afrika menjadi ajang pertentangan kedua
blok tersebut. (Guide
Arsip Konferensi Asia-Afrika Tahun 1955, 2012, hlm. 1)
Semakin memuncaknya Perang Dingin,
khususnya di wilayah Asia, membuat beberapa petinggi negara di Asia yang sudah
merdeka khawatir. Kekhawatiran tersebut membuat Sir John Kotelawala (Perdana
Menteri Sri Lanka) berinisiatif untuk mengadakan konferensi secara informal
untuk beberapa petinggi negara Asia yang sudah merdeka. Negara-negara yang akan
berunding adalah Burma, Sri Lanka, Pakistan, India, dan Indonesia. Konferensi
tersebut dikenal sebagai Konferensi Kolombo. Konferensi tersebut membahas
mengenai keresahan dunia internasional terhadap Perang Dingin yang semakin
memprihatinkan. Pada hari terakhir konferensi, Ali Sastroamidjojo (Perdana
Menteri Indonesia) menyampaikan rumusan yang sudah disiapkan, salah satunya
mengadakan konferensi yang lebih luas bagi negara-negara Asia dan Afrika. Konferensi
Kolombo menjadi pendahuluan bagi Konferensi Bogor dan pada akhirnya Konferensi
Asia-Afrika (KAA), (Dien
& Sunarti, 2024, hlm. 39–40)
sebuah momentum yang mampu mengguncang politik internasional pada masanya,
terlebih KAA diselenggarakan ketika polarisasi akibat Perang Dingin masih terus
terjadi. (Wulandari, 2022, hlm. 62)
Salah satu negara yang diundang dalam
KAA adalah Republik Rakyat Tiongkok. Pada 17 Februari 1955, Tiongkok secara
resmi menerima undangan dan setuju untuk datang ke Bandung. Zhou Enlai (Perdana
Menteri Tiongkok) memuji konferensi tersebut sebagai yang pertama sepanjang
sejarah untuk mendorong niat baik dan kerjasama antara negara-negara Asia dan
Afrika. Ia menyatakan bahwa konferensi tersebut mencerminkan keinginan yang semakin
kuat dari negara-negara Asia dan Afrika untuk menentukan nasibnya sendiri dan
untuk berdiri di atas pijakan yang setara dalam memasuki kerjasama yang
bersahabat dengan negara-negara lainnya di dunia. (Utama, 2017, hlm. 93) Sebelumnya
patut dicatat prestasi Zhou Enlai dalam Konferensi Jenewa yang berlangsung pada
tahun 1954 mengenai Indocina. Dalam konferensi tersebut, ia dengan simpatik dan
piawai melakukan manuver yang berhasil menarik perhatian dunia internasional
dan menjadi bintang dalam konferensi tersebut. Hal ini yang dikhawatirkan pihak
Barat akan terjadi kembali dalam KAA di Bandung jika Zhou Enlai hadir dalam
konferensi tersebut. (Setiono, 2008, hlm. 749)
Usaha untuk menggagalkan KAA dan
mencegah kehadiran Perdana Menteri Zhou Enlai dilakukan dengan cara kotor. Pada
April 1955, RRT menyewa sebuah pesawat Air India, yaitu Kashmir Princess, untuk
menerbangkan Zhou Enlai dan delegasinya dari Hong Kong ke Indonesia. Agen
rahasia Taiwan menempatkan bom waktu dalam pesawat tersebut dengan tujuan untuk
membunuh Zhou Enlai. Rencana tersebut diketahui oleh Dinas Intelijen RRT. (Wong, 2002, p. 106) Pada
saat-saat terakhir ternyata Zhou Enlai menggunakan pesawat lain. Kashmir
Princess siap lepas landas dari Hong Kong pada waktunya, namun Zhou Enlai
maupun rombongannya tidak muncul. Hanya segelintir pejabat junior dengan juru
tulisnya yang muncul. Setelah penerbangan yang lancar selama lima jam, saat
pesawat terbang pada ketinggian 18.000 kaki di atas laut, ledakan terjadi. (Lala, 2017)
Pada 11 April 1955, Kashmir Princess meledak
di langit Kepulauan Natuna. (Bhardwaj, 2019) Sebelas
penumpang meninggal dalam insiden ini dan hanya tiga kru yang selamat. Tsang
dalam Utama (2017, hlm. 101)
mengungkapkan bahwa tragedi ini bukanlah kecelakaan, melainkan usaha intelijen
Taiwan untuk membunuh Zhou. Bukti menunjukkan bahwa Zhou ternyata telah
mengetahui rencana pembunuhan yang ditujukan kepadanya dan diam-diam mengubah
rencana perjalanannya, meski harus merelakan delegasi samaran dari kader-kader
yang lebih rendah untuk menggantikannya. Terlepas dari masalah ini, dan satu
dua kekhawatiran kecil, KAA berjalan mulus tanpa insiden apa pun. Pada 16 April
1955, Nehru (Perdana Menteri India) bersama dalam satu pesawat dengan Nasser (Presiden
Mesir) dan U Nu (Perdana Menteri Burma) tiba di Bandara Kemayoran, Jakarta.
Satu jam kemudian, Zhou Enlai bersama Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok,
Arnold Mononutu, sampai di Jakarta.
Penyelenggaranaan KAA menjadi sebuah
peristiwa dimana 29 negara dari Asia dan Afrika bertemu untuk mempromosikan
nilai-nilai anti-kolonialisme dan kerja sama antara kedua benua. Konferensi ini
merupakan awal dari pembentukan kerjasama yang lebih mendalam, seperti Gerakan
Non-Blok dan G-77. Semangat Bandung atau lebih sering disebut dengan Bandung Spirit, telah mendorong negara-negara
KAA untuk melakukan kerjasama berbasis saling menguntungkan dan saling
menghormati kedaulatan negara. (Kawuri, 2017, hlm. 3)
Daftar
Bacaan
Bhardwaj,
A. (2019). India-America Relations (1942-62): Rooted in the Liberal
International Order. Routledge.
Dien,
Z. K. S., & Sunarti, L. (2024). Suara yang terlupakan: Memori kolektif para
pendukung Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Sejarah dan Budaya, 18(1),
38–51. https://doi.org/10.17977/um02 0v18i12024p38-51
Guide
Arsip Konferensi Asia-Afrika Tahun 1955.
(2012). Arsip Nasional Republik Indonesia.
Kawuri,
M. W. (2017). Enam Dekade Konferensi Asia-Afrika: Tantangan dalam Menghidupkan
Kembali Semangat Bandung. IIS Brief, 3.
Lala,
R. M. (2017). Beyond the Last Blue Mountain: A Life of J.R.D. Tata.
Penguin Books.
Setiono,
B. G. (2008). Tionghoa dalam Pusaran Politik. TransMedia.
Utama,
W. S. (2017). Konferensi Asia-Afrika 1955: Asal Usul Intelektual dan Warisannya
bagi Gerakan Global Antiimperialisme. Marjin Kiri.
Wong,
T.-H. (2002). Hegemonies Compared: State Formation and Chinese School
Politics in Postwar Singapore and Hong Kong. RoutledgeFalmer.
Wulandari, A. (2022). Dari Mesir hingga Aljazair: Jalan Panjang Diplomasi Indonesia Menuju Konferensi Asia Afrika Kedua (1955-1965). Handep, 6(1), 61–84. https://doi.org/10.33652/handep.v6i1.263
Komentar
Posting Komentar